Sunday, February 10, 2008

Maut Itu Begitu Dekat...

Jika Anda pernah mendengar kalau maut itu bisa menjemput kapan saja dan dimana saja, maka hal itu benar adanya. Maut itu begitu dekat. Inilah kata-kata yang dapat kuungkapkan hari ini. Maut yang banyak ditakuti kebanyakan manusia itu hampir saja menjemputku, merenggut semua impian dan ambisiku, menghapus semua agenda masa depan yang telah kususun serapi mungkin, menepis semua kesombongan yang kumiliki, sekaligus semakin meyakinkanku akan ketidakberdayaan manusia dan kemahakuasaan Sang Pencipta. Detik-detik menuju maut baru saja kualami beberapa jam yang lalu, sekitar pukul 10.30 WIB, tepat di Hari Minggu, 10 Februari 2008, disaat usiaku belum genap 22 tahun. Aku mengalami kecelakaan sepeda motor.

Kejadian ini berawal ketika aku melakukan perjalanan Jatinangor – Sumedang untuk mengikuti aksi menolak Valentine’s day -- sebuah budaya Barat yang kian merasuki umat Islam dan tanpa sadar mereka terjebak di dalamnya dengan merayakannya -- di kota Sumedang bersama massa Hizbut Tahrir Indonesia. Aku pergi dengan menggunakan sepeda motor Vario yang bukan milikku sendiri. Setelah aksi selesai, aku bergegas pulang. Tidak seperti keberangkatanku dari Jatinangor-Sumedang yang hanya seorang diri, kali ini aku membonceng temanku yang hampir berbobot dua kali lipat dari berat badanku. Namanya Wahyu Rahmansyah. Dan aku tak keberatan dia dibonceng.

Satu kilo, dua kilo, meniggalkan kota Sumedang menuju Jatinangor dan perjalanan tak ada hambatan. Wahyu bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti irama musik dalam mp3 player-nya. Pada kilometer-kilometer berikutnya tibalah aku pada areal Cadas Pangeran yang memiliki tipe khas jalanan puncak. Berbelok-belok. Entah berapa belokan yang kutempuh. Mungkin belasan. Pada jalanan seperti inilah perjalananku mulai terhambat. Wahyu yang pada awalnya memasang earphone menikmati alunan musik, kini mulai melepaskannya dan terus mengawasi arah kemudiku. “Jangan… ada belokan… terus…” demikian dia terus memanduku mengarahkan perjalanan. Aku semakin was-was dibuatnya. Sampai tibalah kami di suatu tikungan yang curam, dimana diatasnya adalah bukit dan di bawahnya jurang. Dan dari arah depan sebelah kananku aku melihat sebuah tronton pengangkut barang, beroda 3 pasang, depan-tengah-belakang, mulai melintas dihadapanku. Merasa melihat arah kemudiku yang seolah tak terkendali, Wahyu sontak mengagetkanku, “Awas, Cep!!!” teriaknya. Aku yang sudah kaget melihat kendaraan raksasa yang hanya beberapa meter saja di depanku itu dan mencoba mengendalikan arah kemudiku, semakin kaget oleh teriakan Wahyu. Cuaca mendung, hujan rintik-rintik- dan kaca helm yang gelap mengaburkan pandanganku. Dan aku pun semakin kesulitan mengendalikan motor yang aku tumpangi. Motorku dan tronton itu perlahan saling mendekat sampai tinggal satu meter saja atau mungkin dalam hitungan sentimeter. Pada saat itulah pikiranku terbang entah kemana. Melayang-layang seolah aku sedang mengalami mimpi buruk di siang bolong. Aku merasa seperti anak kecil yang nekat naik motor karena tidak diizinkan orangtuanya dengan alasan belum cukup gede. Dan disaat-saat genting seperti itu, disaat maut tepat berada di depanku, aku bahkan tidak bisa menarik rem yang terpasang di kiri-kanan stang motor itu. Dan akhirnya… “BRAK..!!! detik-detik itu akhirnya datang juga. Tronton raksasa yang beratnya mungkin berton-ton itu menghantam motor kami yang mungil yang anak kecil pun bisa merobohkannya, dan “BUK…!!!” akhirnya kami terjatuh tanpa kendali. Tapi anehnya, aku tidak jatu tersungkur dan posisiku dan wahyu masih melekat pada motor yang kami tumpangi. Ternyata aku masih sempat sedikit membelokkan motorku sehingga hanya bagian belakang tronton itu yang menyenggol motorku. Saat itu, aku dan Wahyu sama-sama memekik, “ALLAHU AKBAR!!!.” Aku berharap semuanya sudah usai dan terhindar dari kecelakaan ini. Namun tidak sampai disitu. Aku yang menyadari di belakang tronton itu masih ada mobil lain berderet-deret, tidak bisa berbuat banyak. Aku berharap bisa menampar pipiku sekeras-kerasnya dan segera bangun dari mimpi buruk itu. Namun ajaib! Waktu terasa terhenti dan semua benda hidup di dunia ini seakan berhenti bergerak. Mobil yang tepat berada di belakang tronton itu berhenti berjalan. Rupanya pengemudi mobil itu sudah menyadari kecorobohanku sehingga dia berhasil menginjak rem menghentikan laju mobil itu. Dan aku yang sedetik yang lalu merasa tidak bisa berbuat apa-apa, saat itu mendapat energi yang cukup untuk dengan refleks membawa motor itu ke pinggir dan temanku mengikuti dari belakang. Aku tidak tahu kalau seandainya takdir berkata lain dan pengemudi mobil itu tidak sempat menghentikan mobilnya, mungkin saja kepalaku sudah tergilas oleh ban mobil itu yang berada dalam satu garis lurus dengan badanku ketika aku terjatuh tadi. Saat itulah aku kembali memuji kemahabesaran Allah, “ALLAHU AKBAR!!!” rupanya kami lolos dari maut yang hampir saja menjemput. Aku pun hanya luka ringan di kaki, sikut, dan sedikit di badan, sedangkan Wahyu hanya bengkak dan keram di bagian betis kanan. Motor? Hanya lecet di bagian kanan, sedikit retak di bagian depan, tapi masih bisa jalan. Puji syukur hanyalah untuk-Nya, Alhamdulillah… Allahu Akbar.

Yang membuatku bangga sekaligus terharu adalah Wahyu. Disaat kakinya bengkak dan tak bisa bergerak, disaat pikirannya kacau tidak karuan, disaat ajal hampir saja menjemputnya, semua karena kecerobohan dan kelalaianku mengemudi motor, dia tidak mengomel walaupun satu kata. Dan ketika aku menyuruhnya naik angkot agar dia leluasa, dia lebih memilih ikut denganku dan kali ini dia yang mengemudi. Sepanjang perjalanan pulang, dia menenangkanku dan memintaku bersyukur. Alhamdulillah kami selamat sampai ke jatinangor. Aku tidak tahu apa yang terjadi kalau aku sendirian mengemudi. Thanks, buddy! You’re my hero.

Bagi teman-teman yang mengemudi saya sarankan untuk hati-hati, pasang semua pengaman, dan fokuskan pikiran. Jangan mengemudi saat pikiran kacau. Namun yang lebih penting, semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah nyata yang baru saja kualami ini dan kita semakin waspada bahwa maut itu bisa menjemput kapan saja.


No comments: