Thursday, February 28, 2008

KISAH POHON APEL

Suatu masa dahulu, terdapat sebatang pohon apel yangamat besar. Seorang kanak-kanak lelaki begitu gemarbermain-main di sekitar pohon apel ini setiap hari.Dia memanjat pohon tersebut, memetik serta memakanapel sepuas-puas hatinya, dan adakalanya diaberistirahat lalu terlelap di perdu pohon apeltersebut. Anak lelaki tersebut begitu menyayangitempat permainannya. Pohon apel itu juga menyukai anaktersebut.

Masa berlalu... anak lelaki itu sudah besar danmenjadi seorang remaja. Dia tidak lagi menghabiskanmasanya setiap hari bermain di sekitar pohon apeltersebut. Namun begitu, suatu hari dia datang kepadapohon apel tersebut dengan wajah yang sedih. "Marilah bermain-mainlah di sekitarku," ajak pohonapel itu." Aku bukan lagi kanak-kanak, aku tidak lagi gemarbermain dengan engkau," jawab remaja itu." Aku mahukan permainan. Aku perlukan wang untukmembelinya," tambah remaja itu dengan nada yang sedih.Lalu pohon apel itu berkata, "

Kalau begitu, petiklahapel-apel yang ada padaku. Juallah untuk mendapatkanuang. Dengan itu, kau dapat membeli permainan yang kauinginkan."
Remaja itu dengan gembiranya memetik semua apel dipohon itu dan pergi dari situ. Dia tidak kembali lagiselepas itu. Pohon apel itu merasa sedih. Masa berlalu...Suatu hari, remaja itu kembali. Dia semakin dewasa.
Pohon apel itu merasa gembira."Marilah bermain-mainlah di sekitarku," ajak pohonapel itu."Aku tiada waktu untuk bermain. Aku terpaksa bekerjauntuk mendapatkan uang. Aku ingin membina rumahsebagai tempat perlindungan untuk keluargaku. Bolehkahkau menolongku?" Tanya anak itu."

Maafkan aku. Aku tidak mempunyai rumah. Tetapi kauboleh memotong dahan-dahanku yang besar ini dan kaubuatlah rumah daripadanya." Pohon apel itu memberikancadangan.Lalu, remaja yang semakin dewasa itu memotong kesemuadahan pohon apel itu dan pergi dengan gembiranya. Pohon apel itu pun turut gembira tetapi kemudiannyamerasa sedih karena remaja itu tidak kembali lagiselepas itu.

Suatu hari yang panas, seorang lelaki datang menemuipohon apel itu. Dia sebenarnya adalah anak lelaki yangpernah bermain-main dengan pohon apel itu. Dia telahmatang dan dewasa."Marilah bermain-mainlah di sekitarku," ajak pohonapel itu." Maafkan aku, tetapi aku bukan lagi anak lelaki yangsuka bermain-main di sekitarmu. Aku sudah dewasa. Akumempunyai cita-cita untuk belayar. Malangnya, akutidak mempunyai boat. Bolehkah kau menolongku?" tanyalelaki itu."

Aku tidak mempunyai boat untuk diberikan kepada kau. Tetapi kau boleh memotong batang pohon ini untukdijadikan boat. Kau akan dapat belayar dengangembira," kata pohon apel itu.Lelaki itu merasa amat gembira dan menebang batangpohon apel itu. Dia kemudiannya pergi dari situ dengangembiranya dan tidak kembali lagi selepas itu. Namunbegitu, pada suatu hari, seorang lelaki yang semakindimamah usia, datang menuju pohon apel itu. Dia adalahanak lelaki yang pernah bermain di sekitar pohon apelitu."

Maafkan aku. Aku tidak ada apa-apa lagi untukdiberikan kepada kau. Aku sudah memberikan buahkuuntuk kau jual, dahanku untuk kau buat rumah, batangkuuntuk kau buat boat. Aku hanya ada tunggul dengan akaryang hampir mati..." kata pohon apel itu dengan nadapilu."
Aku tidak mahu apelmu kerana aku sudah tiada bergigiuntuk memakannya, aku tidak mahu dahanmu kerana akusudah tua untuk memotongnya, aku tidak mahu batangpohonmu kerana aku berupaya untuk belayar lagi, akumerasa lelah dan ingin istirahat," jawab lelaki tuaitu."

Jika begitu, istirahatlah di perduku," kata pohonapel itu.Lalu lelaki tua itu duduk beristirahat di perdu pohonapel itu dan beristirahat. Mereka berdua menangiskegembiraan.
Tersebut. Sebenarnya, pohon apel yang dimaksudkan didalam cerita itu adalah kedua-dua ibu bapa kita. Bilakita masih muda, kita suka bermain dengan mereka.Ketika kita meningkat remaja, kita perlukan bantuanmereka untuk meneruskan hidup. Kita tinggalkan mereka,dan hanya kembali meminta pertolongan apabila kita didalam kesusahan. Namun begitu, mereka tetap menolongkita dan melakukan apa saja asalkan kita bahagia dangembira dalam hidup.Anda mungkin terfikir bahwa anak lelaki itu bersikapkejam terhadap pohon apel itu, tetapi fikirkanlah, ituhakikatnya bagaimana kebanyakan anak-anak masa kinimelayan ibu bapa mereka. Hargailah jasa ibu bapakepada kita. Jangan hanya kita menghargai merekasemasa menyambut hari ibu dan hari bapa setiap tahun.

(taken from received email)

Jujur dan Berani

Seorang raja yang memasuki usia senja ingin mencari penggantinya. Berbeda dengan kebiasaan, ia tak menunjuk anak-anak maupun pembantu terdekatnya. Ia justru memanggil para pemuda di negeri itu dan berpidato di hadapan mereka. "Aku akan mengadakan sayembara. Kalian semua akan mendapatkan sebuah biji. Tanamlah biji ini, rawatlah, dan kembalilah setahun lagi dengan tanaman kalian masing-masing. Bagi yang memiliki tanaman terbaik akan langsung kutunjuk menjadi raja menggantikanku! "


Seorang pemuda bernama Badrun terlihat amat antusias. Ia menanam biji itu, dan menyiraminya tiap hari. Tapi sampai sebulan berlalu belum tumbuh apa-apa. Setelah 6 bulan, para pemuda mulai membicarakan tanaman mereka yang tumbuh tinggi, namun pot Badrun masih kosong. Badrun tak mengatakan apapun pada teman-temannya. Ia tetap menunggu bijinya tumbuh.


Setahun berlalu. Semua pemuda membawa tanamannya kepada raja. Semula Badrun enggan, namun ibunya mendorongnya pergi dan berbicara apa adanya.Raja menyambut para pemuda seraya memuji tanaman yang mereka bawa.


"Kerja kalian luar biasa. Tanaman kalian bukan main indahnya. Aku akan menunjuk seorang dari kalian menjadi raja yang baru!"


Tiba-tiba raja yang melihat Badrun berdiri di belakang memanggilnya. Badrun panik, "Jangan-jangan aku akan dibunuh," pikirnya. Suasana kontan ricuh dengan ejekan dan cemoohan hadirin menyaksikan potnya yang kosong.


"Diam semuanya!" teriak raja. Ia menoleh pada Badrun, kemudian mengumumkan,
"Inilah raja kalian yang baru!" Semua terkejut.


Bagaimana mungkin orang yang gagal yang menjadi raja?


Raja melanjutkan, "Setahun yang lalu, aku memberi kalian sebuah biji untuk ditanam. Tapi yang kuberikan adalah biji yang sudah direbus dan tak mungkin dapat tumbuh. Kalian semua telah menggantinya dengan biji yang lain.


Hanya Badrun yang memiliki KEJUJURAN dan KEBERANIAN untuk membawa pot dengan biji yang kuberikan. Karena itu dialah yang kuangkat menggantikanku!

Ada 2 kata penting yang dapat diambil dari cerita di atas.


Pertama,kejujuran :
Inilah dasar perilaku seseorang. Di jaman Nabi, ada seorang yang bertobat dan ingin menata dirinya.
Tips nabi sederhana saja:"Jangan Bohong!" Orang ini senang karena Nabi tak melarang hal-hal yang lain. "Kalau cuma jangan bohong sih mudah," pikirnya. Maka ia pun melakukan apa yang biasa dilakukannya..

Ia mau mencuri, tapi berpikir, "Bagaimana kalau tetanggaku menanyakan asal-usul hartaku ini?" Iapun membatalkan niatnya. Ia ingin berselingkuh, tapi berpikir, "Bagaimana kalau nanti keluargaku menanyakan kemana aku pergi?" Lagi-lagi ia mengurungkan niatnya.Begitulah seterusnya. Setiap ingin melakukan maksiat ia kontan membatalkannya.


Jadi kejujuran akan membawa perubahan mendasar pada diri seseorang.Tapi tanpa keberanian, kejujuran takkan membawa perubahan bagi orang banyak. Kejujuran hanya menghasilkan pengikut (follower) bukan pemimpin.

Kedua Keberanian :
Untuk bisa merubah masyarakat dibutuhkan keberanian.Masalahn ya, dari manakah datangnya keberanian?

Keberanian datang kalau kita mampu menaklukkan rasa takut. Rasa takut inilah sumber segala macam kejahatan di dunia ini. Contohnya, perasaan marah. Sebenarnya,hanya jika Anda merasa takutlah Anda akan marah. Coba renungkan kapan terakhir kali Anda marah. Teruskan renungan Anda. Telusurilah rasa takut yang tersembunyi di balik kemarahan Anda. Apa yang Anda takutkan hilang dan direnggut dari diri Anda? Ketakutan itulah yang membuat Anda marah.


Rasa takut yang ada menunjukkan bahwa kita belum mandiri. Kebahagiaan dan rasa aman kita masih bersumber pada sesuatu di luar diri kita!

(taken from received email)


.

Sunday, February 10, 2008

Maut Itu Begitu Dekat...

Jika Anda pernah mendengar kalau maut itu bisa menjemput kapan saja dan dimana saja, maka hal itu benar adanya. Maut itu begitu dekat. Inilah kata-kata yang dapat kuungkapkan hari ini. Maut yang banyak ditakuti kebanyakan manusia itu hampir saja menjemputku, merenggut semua impian dan ambisiku, menghapus semua agenda masa depan yang telah kususun serapi mungkin, menepis semua kesombongan yang kumiliki, sekaligus semakin meyakinkanku akan ketidakberdayaan manusia dan kemahakuasaan Sang Pencipta. Detik-detik menuju maut baru saja kualami beberapa jam yang lalu, sekitar pukul 10.30 WIB, tepat di Hari Minggu, 10 Februari 2008, disaat usiaku belum genap 22 tahun. Aku mengalami kecelakaan sepeda motor.

Kejadian ini berawal ketika aku melakukan perjalanan Jatinangor – Sumedang untuk mengikuti aksi menolak Valentine’s day -- sebuah budaya Barat yang kian merasuki umat Islam dan tanpa sadar mereka terjebak di dalamnya dengan merayakannya -- di kota Sumedang bersama massa Hizbut Tahrir Indonesia. Aku pergi dengan menggunakan sepeda motor Vario yang bukan milikku sendiri. Setelah aksi selesai, aku bergegas pulang. Tidak seperti keberangkatanku dari Jatinangor-Sumedang yang hanya seorang diri, kali ini aku membonceng temanku yang hampir berbobot dua kali lipat dari berat badanku. Namanya Wahyu Rahmansyah. Dan aku tak keberatan dia dibonceng.

Satu kilo, dua kilo, meniggalkan kota Sumedang menuju Jatinangor dan perjalanan tak ada hambatan. Wahyu bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti irama musik dalam mp3 player-nya. Pada kilometer-kilometer berikutnya tibalah aku pada areal Cadas Pangeran yang memiliki tipe khas jalanan puncak. Berbelok-belok. Entah berapa belokan yang kutempuh. Mungkin belasan. Pada jalanan seperti inilah perjalananku mulai terhambat. Wahyu yang pada awalnya memasang earphone menikmati alunan musik, kini mulai melepaskannya dan terus mengawasi arah kemudiku. “Jangan… ada belokan… terus…” demikian dia terus memanduku mengarahkan perjalanan. Aku semakin was-was dibuatnya. Sampai tibalah kami di suatu tikungan yang curam, dimana diatasnya adalah bukit dan di bawahnya jurang. Dan dari arah depan sebelah kananku aku melihat sebuah tronton pengangkut barang, beroda 3 pasang, depan-tengah-belakang, mulai melintas dihadapanku. Merasa melihat arah kemudiku yang seolah tak terkendali, Wahyu sontak mengagetkanku, “Awas, Cep!!!” teriaknya. Aku yang sudah kaget melihat kendaraan raksasa yang hanya beberapa meter saja di depanku itu dan mencoba mengendalikan arah kemudiku, semakin kaget oleh teriakan Wahyu. Cuaca mendung, hujan rintik-rintik- dan kaca helm yang gelap mengaburkan pandanganku. Dan aku pun semakin kesulitan mengendalikan motor yang aku tumpangi. Motorku dan tronton itu perlahan saling mendekat sampai tinggal satu meter saja atau mungkin dalam hitungan sentimeter. Pada saat itulah pikiranku terbang entah kemana. Melayang-layang seolah aku sedang mengalami mimpi buruk di siang bolong. Aku merasa seperti anak kecil yang nekat naik motor karena tidak diizinkan orangtuanya dengan alasan belum cukup gede. Dan disaat-saat genting seperti itu, disaat maut tepat berada di depanku, aku bahkan tidak bisa menarik rem yang terpasang di kiri-kanan stang motor itu. Dan akhirnya… “BRAK..!!! detik-detik itu akhirnya datang juga. Tronton raksasa yang beratnya mungkin berton-ton itu menghantam motor kami yang mungil yang anak kecil pun bisa merobohkannya, dan “BUK…!!!” akhirnya kami terjatuh tanpa kendali. Tapi anehnya, aku tidak jatu tersungkur dan posisiku dan wahyu masih melekat pada motor yang kami tumpangi. Ternyata aku masih sempat sedikit membelokkan motorku sehingga hanya bagian belakang tronton itu yang menyenggol motorku. Saat itu, aku dan Wahyu sama-sama memekik, “ALLAHU AKBAR!!!.” Aku berharap semuanya sudah usai dan terhindar dari kecelakaan ini. Namun tidak sampai disitu. Aku yang menyadari di belakang tronton itu masih ada mobil lain berderet-deret, tidak bisa berbuat banyak. Aku berharap bisa menampar pipiku sekeras-kerasnya dan segera bangun dari mimpi buruk itu. Namun ajaib! Waktu terasa terhenti dan semua benda hidup di dunia ini seakan berhenti bergerak. Mobil yang tepat berada di belakang tronton itu berhenti berjalan. Rupanya pengemudi mobil itu sudah menyadari kecorobohanku sehingga dia berhasil menginjak rem menghentikan laju mobil itu. Dan aku yang sedetik yang lalu merasa tidak bisa berbuat apa-apa, saat itu mendapat energi yang cukup untuk dengan refleks membawa motor itu ke pinggir dan temanku mengikuti dari belakang. Aku tidak tahu kalau seandainya takdir berkata lain dan pengemudi mobil itu tidak sempat menghentikan mobilnya, mungkin saja kepalaku sudah tergilas oleh ban mobil itu yang berada dalam satu garis lurus dengan badanku ketika aku terjatuh tadi. Saat itulah aku kembali memuji kemahabesaran Allah, “ALLAHU AKBAR!!!” rupanya kami lolos dari maut yang hampir saja menjemput. Aku pun hanya luka ringan di kaki, sikut, dan sedikit di badan, sedangkan Wahyu hanya bengkak dan keram di bagian betis kanan. Motor? Hanya lecet di bagian kanan, sedikit retak di bagian depan, tapi masih bisa jalan. Puji syukur hanyalah untuk-Nya, Alhamdulillah… Allahu Akbar.

Yang membuatku bangga sekaligus terharu adalah Wahyu. Disaat kakinya bengkak dan tak bisa bergerak, disaat pikirannya kacau tidak karuan, disaat ajal hampir saja menjemputnya, semua karena kecerobohan dan kelalaianku mengemudi motor, dia tidak mengomel walaupun satu kata. Dan ketika aku menyuruhnya naik angkot agar dia leluasa, dia lebih memilih ikut denganku dan kali ini dia yang mengemudi. Sepanjang perjalanan pulang, dia menenangkanku dan memintaku bersyukur. Alhamdulillah kami selamat sampai ke jatinangor. Aku tidak tahu apa yang terjadi kalau aku sendirian mengemudi. Thanks, buddy! You’re my hero.

Bagi teman-teman yang mengemudi saya sarankan untuk hati-hati, pasang semua pengaman, dan fokuskan pikiran. Jangan mengemudi saat pikiran kacau. Namun yang lebih penting, semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah nyata yang baru saja kualami ini dan kita semakin waspada bahwa maut itu bisa menjemput kapan saja.


Friday, February 8, 2008

Mencari Cinta Sejati

SEBUAH RENUNGAN DI HARI KASIH SAYANG UNTUK PENULIS KHUSUSNYA DAN UMUMNYA UNTUK SIAPA SAJA YANG MENCARI CINTA SEJATI.

Ujang, sebut saja demikian. Dia adalah teman seperjuangan saya ketika kami sama-sama menimba ilmu agama dulu di sebuah pondok pesantren yang terletak di kampung kami. Namun, tidak seperti kebanyakan santri pada umumnya yang benar-benar ingin mendalami ilmu agama, Ujang masuk pesantren karena sebelumnya ia telah melakukan sebuah “transaksi’ dengan orangtuanya. Ujang minta dibelikan sebuah sepeda motor sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengisi hari-harinya mengaji kitab kuning dan mendengarkan khotbah sang kyai di pondok pesantren tersebut. Melihat niat baik anaknya yang sedikit berbeda dengan saudara kandungnya yang lain yang rata-rata pengangguran, orangtuanya mengabulkan permintaannya. Sebuah sepeda motor bergigi empat berem cakram dan irit bahan bakar akhirnya jatuh ke tangan Ujang. Entah bagaimana orangtuanya bisa membelikannya motor mengingat harganya cukup untuk merenovasi rumah mereka yang tak terawat dan sudah hampir roboh.

Dalam novel best seller Laskar Pelangi yang diangkat dari kisah hidup sang penulisnya sendiri, Andrea Hirata, terdapat dua sosok guru, Ibu Muslimah dan Bapak Harfan, yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mendidik anak didiknya. Mereka mengorbankan seluruh pemikirannya, tenaganya, hartanya, dan mungkin nyawanya untuk membuat anak didiknya berguna bagi nusa, bangsa, terutama agama. Mereka rela bekerja di sekolah kampung yang sudah hampir dibubarkan itu berpuluh-puluh tahun lamanya walaupun tanpa menerima imbalan berupa materi. Entah bagaimana mereka menghidupi keluarganya sendiri.

Mengapa orangtua Ujang dan dua tokoh guru dalam novel tersebut sedemikian besar hasratnya untuk memberi sesuatu kepada orang lain? Mengapa mereka seolah tak peduli dengan nasib yang menimpa diri mereka sendiri? Mengapa mereka justru mengorbankan segala yang mereka miliki untuk orang yang mungkin saja tidak membalas budi baiknya kelak? Kiranya Anda sependapat dengan saya, mereka melakukannya karena sebuah kata suci, keramat, dan ajaib yang terdiri dari lima huruf: CINTA!

Ya, cinta adalah anugerah Illahi yang sangat indah. Ia tidak bisa dibeli dengan uang, tidak bisa ditukar dengan emas ataupun diganti dengan kedudukan. Ia bisa membuat orang mabuk kepayang, membuat pikiran tak waras, ataupun membuat lupa dimana dia berpijak. Tak heran orang mendambakan cinta sejati. Cinta yang dapat memberikan kekuatan dikala manusia lemah tak berdaya. Cinta yang membuat manusia selalu bersemangat menjalani hari-harinya. Cinta yang membuat manusia tidak pernah putus asa dan selalu optimis menghadapi kenyataan. Pertanyaannya, adakah cinta sejati itu?

Sebagian orang mungkin memandang kasus di atas, yaitu cinta orangtua Ujang terhadap anaknya, dan cinta seorang guru terhadap anak didiknya sebagai cinta sejati. Sebagian lagi memandang cinta sepasang kekasih yang setelah bertahun-tahun pacaran dan akhirnya menikah sebagai cinta sejati. Bahkan ada yang menganggap cinta sejati seperti orang yang selalu memberikan sesuatu kepada orang yang dicintainya walaupun ia tidak bisa memilikinya. Dengan kata lain cinta yang bertepuk sebelah tangan. Beragam orang menafsirkannya dan bermacam-macam pula orang mengekspresikannya. Seperti yang terjadi setiap tanggal 14 Februari yang dinobatkan umat manusia sebagai Hari kasih Sayang ini misalnya. Mulai dari yang paling irit seperti mengucapkan “I love you” 5 kali dalam sehari, persis seperti shalat fardlu, sampai yang paling boros seperti memberikan apapun yang diminta orang yang dicintainya itu dalam bentuk materi. Berbagai EO pun berlomba-lomba membuat acara yang paling romantis guna memperingati hari yang selalu dikaitkan dengan nama Saint Valentino itu.

Sesuatu yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana jadinya manakala orang yang kita cintai itu pergi dari hadapan kita atau kandas di tengah jalan? Mengingat tidak sedikit kita mendengar tindakan menghabisi nyawa sendiri karena ditinggalkan sang kekasih, atau menghabisi nyawa orang lain karena rasa cemburu yang berlebihan, bahkan pikirannya menjadi tidak waras karena ditinggal mati istri ataupun suami karena membayangkan beban hidup yang begitu berat setelahnya. Atau sebaliknya, bagaimana apabila sesuatu itu menimpa diri kita sendiri. Ketika kita mengerahkan segenap daya upaya untuk membahagiakan orang yang kita cintai ataupun untuk meraih sesuatu yang kita cintai dan kita telah mengagendakan dengan rapi apa saja yang harus dilakukan esok hari. Tiba-tiba Tuhan berkehendak lain dan otomatis mengubur semua ambisi kita dengan segenap cinta di dalamnya. Seperti yang menimpa almarhum Adi Firansyah misalnya, seorang aktor ganteng yang menjadi tulang punggung bagi keluarga ibunya menggantikan ayahnya dan bagi keluarganya sendiri. Atau almarhum komedian Basuki yang memiliki keinginan untuk mendirikan pondok pesantren namun semua itu sirna manakala maut menjemputnya. Akankah kita tetap semangat menjalani sisa usia kita setelah sekian lama menghabiskan waktu bersamanya setiap hari, setiap menit, bahkan setiap detik? Akankah kita tetap optimis memandang hidup setelah segala sesuatu kita korbankan hanya untuk seseorang atau sesuatu yang kita cintai pupus dimakan waktu?

Walaupun hal ini lebih pantas disampaikan seorang ustadz yang berilmu ketimbang saya yang masih awam, namun tak dapat kita pungkiri bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan titipan dari Sang Pencipta dan ketika Dia memintanya kembali, maka kita tidak kuasa menolaknya. Keicntaan kita terhadap keluarga, anak, jabatan, atau apapun di dunia ini hanyalah ekspresi naluriah manusia (gharizah an nau’) yang akan lenyap manakala semua itu diambil pemiliknya. Padahal kita sedang mencari cinta sejati. Cinta yang selalu memberikan energi positif bagi penyandangnya. Cinta yang tidak pernah mati dimakan usia dan tidak habis ditelan waktu. Dimanakah cinta sejati itu?

(Cecep Wijaya Sari, mahasiswa Fakultas Sastra Unpad angk. 2004)